Pacu Potensi Hortikultura Jatim dengan Pendekatan Kawasan

Propinsi Jawa Timur (Jatim) yang terdiri dari 38 kabupaten/kota telah dikenal sebagai salah satu sentra potensial bagi produksi tanaman hortikultura. Hortikultura yang terdiri dari sayuran dan buahbuahan merupakan salah satu sub sektor andalan yang mampu memberikan
kemajuan bagi pembangunan sektor pertanian di Jatim.

PDRB Jatim 2011 lalu yang besarnya Rp 891,37 Triliun, sektor pertanian mempunyai peran 15,85 persen dalam pembentukannya, yang tentu sub sektor hortikultura juga mempunyai andil di situ. Kenaikan Nilai Tambah Petani (NTP) Jatim terjadi pada Sub Sektor  Hortikultura yang mengalami kenaikan sebesar 0,23 persen dari 107,77 menjadi 108,02 dan Sub Sektor Tanaman Pangan naik sebesar  0,02 persen dari 103,89 menjadi 103,90. Indeks harga yang diterima petani naik 0,40 persen dari 142,97 pada Bulan November 2011  menjadi 143,53 pada Bulan Desember 2011. Kenaikan indeks ini disebabkan oleh naiknya indeks yang diterima petani pada Sub Sektor Hortikultura sebesar 0,78 persen, Sub Sektor Tanaman Pangan 0,57 persen dan Sub Sektor Peternakan 0,01 persen.

Menurut pakar statistik dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS), Kresnayana Yahya, komoditas hortikultura yang terdiri dari bayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat memiliki nilai ekonomi tinggi dan sangat prospektif untuk  dikembangkan mengingat potensi serapan pasar dalam negeri dan internasional yang terus meningkat.

“Di antara tiga sub sektor utama pertanian, yaitu tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan rakyat, hanya hortikultura yang  dapat menjadi harapan bagi percepatan pertumbuhan sektor pertanian secara keseluruhan dan peningkatan derajat kesejahteraan  petani. Ini bisa diketahui dari Indeks Nilai Tukar Petani sayuran dan buah hampir selalu mencapai nilai di atas 100, artinya mampu menutup biaya produksi. Relatif lebih sejahteranya petani hortikultura ini, juga terkait dengan demand dari industri perhotelan
dan restoran. Dalam struktur analisis input-output (I / O) Jawa Timur, 80 persen output sub sektor hortikultura diserap oleh dua industri tersebut, terutama restoran yang akhir-akhir ini pesat pertumbuhan jumlahnya. Maka seiring semakin tumbuhnya industri perhotelan dan restoran diharapkan sub sektor pertanian hortikultura juga akan meningkat,” ujar Kresnayana Yahya beberapa waktu yang lalu.

Kondisi agro-ekologi Jawa Timur yang bervariasi, di dukung dengan kesesuaian lahan yang tersedia, dapat dimanfaatkan untuk pengembangan berbagai jenis komoditas hortikultura tropik maupun sub tropik. Total lahan kering yang masih tersedia seluas  3.256.697 Ha, yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman hortikultura seluas 572.429 Ha berupa lahan pekarangan dan 1.143.728 Ha berupa lahan tegal.

Menurut Kepala Bidang Produksi Hortikultura Dinas Pertanian Jawa Timur, Sita Ratih Purwandari, pengembangan hortikultura di  Jatim dilakukan melalui pendekatan kawasan, yang dipandang efektif dengan sistem agribisnis yang berkelanjutan sesuai dengan  keunggulan komparatif dan kompetitif yang berbasis di pedesaan. “Kawasan Hortikultura merupakan suatu wilayah dengan kesamaan
ekosistem dan disatukan oleh berbagai fasilitas infrastruktur ekonomi yang sama. Kawasan ini diisi dengan kegiatan agribisnis, mulai  dari penyediaan sarana produksi, budidaya, penanganan dan pengolahan pasca panen hingga pemasaran serta berbagai kegiatan  pendukungnya,” terangnya.

Ia menjelaskan, pendekatan ini ditujukan untuk mengubah aktivitas pertanian dari kondisi subsistem menjadi kegiatan komersial yang berdaya saing tinggi, dengan membaginya lagi dalam 3 macam kelas, Inisial (awal), Terintegrasi (potensial untuk dikembangkan), dan Intensif ( berkembang). “ Upaya peningkatan produksi dilakukan dengan pemantapan dan penumbuhan sentra produksi komoditas unggulan yang berskala komersial, serta pembinaan menyeluruh dan terpadu pada semua sub sistem agribisnis terkait,” tuturnya.

Sejumlah komoditi hortikultura unggulan Jatim baik buah, sayuran, tanaman hias dan obat, saat ini telah tertata dengan sistem  pendekatan kawasan tersebut. Kawasan buah di antaranya seperti jeruk tersebar mulai dari bagian utara di Tuban, Bangkalan,  Pamekasan, Sumenep, Magetan, Ponorogo hingga bagian selatan ke timur seperti di Batu, Malang, Pasuruan, Lumajang, Jember dan  Banyuwangi. Kawasan Mangga terdapat di Lamongan, Gresik, Pamekasan, Sumenep, Magetan, Madiun, Ponorogo, Nganjuk, Kediri,  Jombang, Pasuruan, Situbondo, Probolinggo dan Bondowoso.

Apel terkonsentrasi hanya di tiga kawasan yang memiliki dataran tinggi seperti Batu, Malang dan Pasuruan. Pisang tersebar di Tuban, Bojonegoro, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, Pacitan, Pasuruan, Malang, Jember, Lumajang dan Banyuwangi. Kawasan sayuran seperti
bawang merah ada di Nganjuk, Kediri, Mojokerto, Magetan, Jombang, Malang, Ngawi, Bojonegoro, Probolinggo, Bondowoso, Situbondo, Lumajang, Jember, Pamekasan, Sampang, Bangkalan dan Sumenep. Kawasan cabe merah tersebar mulai di Kediri, Nganjuk,
Mojokerto, Malang, Batu, Blitar, Ponorogo, Pacitan, Jember, Banyuwangi, Lumajang, Situbondo, Lumajang, Bondowoso, hingga  Tuban, Lamongan, Gresik, Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Sedangkan Kawasan kentang dan kubis terdapat di Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Magetan.

Kawasan tanaman hias seperti Mawar terdapat di Batu, Malang, Pasuruan, dan Magetan. Kawasan Anggrek di Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Batu, Malang, dan Blitar. Sedangkan untuk Sedap Malam terdapat di Pasuruan, Banyuwangi dan Pamekasan. Sementara kawasan tanaman obat di antaranya jahe di Ponorogo, Probolinggo, Trenggalek, Pamekasan dan Sumenep. Cabe Jamu di Pamekasan dan Sumenep, serta Temulawak di Mojokerto. Ia menjelaskan, untuk Program Kegiatan Prioritas tahun 2012 pihaknya telah  menyiapkan dana sebesar Rp 375.520.411.855,- yang bersumber dari APBN dan APBD, dan akan dialokasikan pada setiap triwulan. “Dana tersebut digunakan untuk mencapai Peningkatan Produktivitas dan Mutu Hasil, Perluasan areal tanam, Pengembangan Kawasan,  Pengamanan produksi, Penguatan kelembagaan pertanian dan dukungan pembiayaan usaha tani, serta untuk mengatasi
sejumlah masalah mulai dari Hulu, On Farm, hingga Off Farm.

Ia merinci beberapa masalah yang terdeteksi di antaranya seperti ketersedian air, lahan, Saprodi, modal dan SDM pada bagian hulu.  Ketersedian benih, OPT, dan teknis budidaya pada bagian On Farm dan pada Off Farm ditemukan kehilangan hasil, permodalan dan
pemasaran. Untuk mengatasinya masalah di hulu langkah yang perlu dilakukan adalah irigasi teknis, bertekanan, rehabilitasi, uji tanah, ketersediaan saprodi, kredit lunak, bansos, pelatihan dan magang. Pada On Farm antara lain Sekolah Lapang, Manajemen hamparan, Inspeksi, Keputusan kelompok dan GAP (Good Agriculture Practices). Sedangkan untuk Off Farm akan berfokus pada Panen, Pasca panen, Sertifikasi Pengolahan Hasil, Kemitraan, Pemasaran hasil dan Promosi.

“Perubahan iklim yang ekstrem memang berpengaruh pada timbulnya peningkatan luas lahan banjir dan lahan kering, HPP yang turun dan munculnya hama tanaman. Namun dengan sejumlah langkah ini kami harapkan bisa mencapai target peningkatan produksi 5 persen sehingga diharapkan mampu untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor sekaligus untuk mensubstitusi produk impor yang banyak dijumpai di pasaran,” pungkasnya.

 

  1. Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar